Kamis, 11 Juni 2009

Perlunya Penyediaan Air Bersih dan Perbaikan Sanitasi di Kawasan Sungai Negara

Pada tanggal 4-6 Juni 2009, Program Studi Matematika, Fisika dan Ilmu Komputer Fakultas MIPA UNLAM melaksanakan praktikum Pengenalan Lingkungan Lahan Basah di Rawa Bangkau dan Loksado. Daerah yang menarik perhatian saya adalah daerah di bantaran Sungai Negara, Desa Danau Bangkau, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan selatan. Kami melakukan observasi di daerah ini pada hari pertama praktikum. Setelah mewawancarai beberapa orang warga sekitar mengenai kebutuhan dasar serta aktivitas kehidupan mereka, kami pun menelusuri Sungai Nagara untuk menuju kawasan peternakan kerbau di Rawa Bangkau.

Gambar 1. Perumahan warga di bantaran Sungai Negara

Sepanjang perjalanan dengan menggunakan kelotok (perahu bermesin tempel khas Kalimantan Selatan), yang terlihat di kanan dan kiri sungai hanyalah perumahan warga dengan segala aktivitasnya, mulai dari mandi, mencuci hingga membuang tinja. Tak hanya itu, ada pula warga yang melaksanakan aktivitas jual beli di atas kelotok. Selain itu, banyak pula warga yang menjaring ikan dan membudidayakan eceng gondok untuk menangkap ikan, karena 80% mata pencarian penduduk di sini adalah menangkap ikan. Sepertinya sungai menjadi sarana penting bagi kehidupan warga.

Gambar 2. Anak-anak yang sedang mandi di sungai dan Eceng Gondok yang dibudidayakan warga




Gambar 3. Kakus yang digunakan warga untuk membuang kotoran


Gambar 4. Warga yang sedang menjaring ikan

Melihat kehidupan warga yang demikian, timbul pertanyaan dalam pikiran saya, bagaimana akses air bersih bagi warga? Sedangkan menurut keterangan warga, air PDAM sering tidak jalan dan tidak semua warga mampu menikmati fasilitas tersebut.

Padahal, menurut definisinya, air bersih sebagai air minum non-perpipaan terlindungi, yaitu air dengan kualitas sumber air yang mempertimbangkan konstruksi bangunan sumber airnya serta jarak dari tempat pembuangan tinja terdekat lebih dari 10 meter. Dari definisi tersebut, jelas air yang diambil warga Danau Bangkau dari sungai Negara tidak layak diminum. Ini pun ditunjukkan dengan air sungai yang berwarna kuning dan ketika dimasak/didiamkan akan terlihat endapan tanah berwarna kuning.

Selain minimnya akses air bersih, masyarakat di bantaran sungai Negara ini pun memiliki sanitasi yang tidak sesuai dengan standar kesehatan. Ini dapat dilihat dari tidak adanya saluran untuk pembuangan limbah rumah tangga, sehinga limbah itu dialirkan ke sungai dan air sungainya pun dimanfaatkan kembali untuk memenuhi kebutahan sehari-hari. Di sini terdapat kaitan yang erat antara sanitasi dan sumber air bersih dan keduanya dapat mempengaruhi sektor lainnya. Sanitasi yang buruk dapat berdampak negatif terhadap sektor perikanan, pariwisata serta kesejahteraan seperti berkurangnya angka kehadiran siswa di sekolah dan lingkungan yang tidak nyaman.

Dampak kedua hal tersebut terhadap kesehatan dapat dilihat dari Data Direktorat Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, di mana kondisi sanitasi (sistem pengolahan dan pembuangan limbah rumah tangga khususnya kotoran manusia) yang buruk dan minimnya pasokan air bersih memicu angka kematian anak akibat penyakit diare, tipus, polio, dan cacingan. Hal ini terus terjadi setiap tahun karena musim hujan biasanya disertai menurunnya kekebalan tubuh, sehingga rentan tertular berbagai penyakit. Kondisi ini akan semakin diperparah dengan sanitasi yang buruk.

Dalam hitungan ekonomi, sanitasi yang buruk menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Menurut Economic Impacts of Sanitation in Southeast Asia (2007) dari Water and Sanitation Program (WSP) Bank Dunia, Indonesia harus kehilangan lebih dari Rp 58 triliun atau sebanding dengan Rp 265.000 perorang setiap tahun akibat sanitasi yang buruk,dan menghadapi risiko kesehatan yang lebih tinggi serta hilangnya kesejahteraan.

Kita tentunya tidak ingin hal tersebut terjadi. Apabila setiap tahun, masyarakat Indonesia harus mengeluarkan anggaran sebesar itu, porsi untuk anggaran yang lain akan terkurangi. Sanitasi buruk akan membuat masyarakat kita terus terpuruk. Untuk itulah diperlukan perbaikan kehidupan warga di Danau Bangkau. Dengan ketersediaan sarana dan prasarana air bersih dan sanitasi yang layak, maka usia harapan hidup dan kesejahteraan warga akan meningkat. Secara tidak langsung, hal tersebut akan menurunkan tingkat kemiskinan, serta akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan dapat terpenuhi.

Selain hal tersebut di atas, dengan ketersediaan sarana dan prasarana air bersih dan perbaikan sanitasi, dapat pula meningkatkan pendapatan pemerintah setempat melalui sektor pariwisata karena di Rawa Bangkau terdapat peternakan kerbau yang merupakan icon tersendiri bagi kawasan tersebut. Dengan jalur sungai yang tertata rapi, tentunya akan meningkatkan jumlah wisatawan karena sungai merupakan jalur akses utama menuju peternakan kerbau.

Gambar 5. Peternakan Kerbau di Rawa Bangkau (Kalang)



Gambar 6. Kerbau di peternakan

Ini merupakan tugas tersendiri bagi Pemda setempat dalam memajukan kehidupan warga Danau Bangkau. Tentunya hal ini tidak dapat terlaksana tanpa dukungan dan inisiatif warga sekitar dan instansi terkait, dan peran serta kalangan terdidik (Mahasiswa) dalam upaya melakukan penyuluhan mengenai kebersihan dan kesehatan. Memang diperlukan dana dan usaha yang tidak sedikit untuk membangun sarana dan prasarana air bersih serta perbaikan salinitas dan kehidupan warga Danau Bangkau. Akan tetapi, tentunya semua ini akan sebanding dengan hasil yang diperoleh. Lalu, sudahkah kita tergerak untuk melakuknannya????

Jumat, 08 Mei 2009

Perbaikan Midtest Pengenalan Lingkungan Lahan Basah


Soal

1. Siklus Karbon di lahan basah terkumpul di bagian tumbuhan atas (tegakan), akar dan tanah. Hasil pengukuran menunjukan bahwa biomassa tegakan sebanyak 1 Mton per hektar. Sedangkan perbandingan komposisi Karbon pada tegakan, akar dan tanah adalah 3 : 0,5 : 21,5 dari 50% biomassa. Maka 1 juta hektar lahan gambut yang akan dikonversi menjadi lahan pertanian akan melarutkan 47% Karbon ke perairan dan sisanya diemisikan dalam bentuk CO2 ke udara melalui teknik pembakaran lahan. Karbon terlarut digunakan untuk menyuburkan perairan sehingga menghasilkan blooming fitoplankton yang membebaskan 50% CO2 dari hasil respirasi. Berapa kontribusi lahan basah tersebut dalam memperkaya gas rumah kaca?

2. Pegunungan Meratus sebagai reservoir Kalimantan Selatan mengalirkan air sebanyak 500 juta m3 per bulan melalui 5 daerah aliran sungai,Tabalong, Batang Alai, Amandit, Riam Kiwa, dan Riam Kanan. Presipitasi sepanjang tahun ± 12 x 109 m3. Aquifer yang terdapat di Daerah Aliran Sungai (DAS) tersebut di atas ± 10% dan 20% menjadi air tanah. Berapa banyak air yang kembali terlepas melalui peristiwa evavorasi dan evavotranspirasi (jika perbandingan keduanya adalah 3:1).

3. Buat model matematis dengan mempertimbangkan bagian-bagian proses sebagai variable-variabel matamatis dari soal nomor 1 dan 2.


Jawaban

1. Biomassa tegakan = 1 Mton/hektar

= 106 Mton/juta hektar

Perbandingan Komposisi Karbon pada tegakan, akar dan tanah adalah 3 : 0,5 : 21,5 dari 50% biomassa.

Jadi, banyaknya Karbon yang terkandung pada masing-masing bagian tanaman tersebut adalah sebagai berikut:


Untuk mengetahui barapa kontribusi gas rumah kaca dari lahan basah tersebut, terdapat beberapa asumsi, yaitu:

· Asumsi 1

Asumsi ini digunakan apabila pada saat mengkonversi lahan gambut menjadi lahan pertanian, yang terbakar hanya bagian tegakan, sedangkan akar dan tanahnya tidak ikut terbakar. Kemudian bila panas pembakaran tidak terlalu tinggi, maka sisa tegakan yang terbakar akan menjadi abu lalu terlarut dalam air bersamaan dengan 47% Karbon yang dikandungnya.

Banyaknya Karbon yang dihasilkan akan melalui 2 proses, yaitu dari CO2 hasil emisi pembakaran dan CO2 hasil respirasi fitoplankton yang berasal dari Karbon yang larut dalam air, dengan perhitungan sebagai berikut:


Dari hasil perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa kontibusi lahan basah tersebut dalam memperkaya gas rumah kaca adalah:

CO2 hasil emisi pembakaran + CO2 hasil respirasi fitoplankton

= 3,18 x 104 Mton/juta hektar + 1,41 x 104 Mton/juta hektar

= 4,59 x 104 Mton/juta hektar


· Asumsi 2

Asumsi ini digunakan apabila pada saat mengkonversi lahan gambut menjadi lahan pertanian, yang terbakar adalah bagian akar dan tanah, sedangkan tegakannya tidak ikut terbakar. Kemudian sisa dari akar dan tanah yang terbakar ini akan larut dalam air bersamaan dengan 47% Karbon yang dikandungnya.

Sama dengan Asumsi 1, banyaknya Karbon yang dihasilkan pun akan melalui 2 proses, yaitu dari CO2 hasil emisi pembakaran dan CO2 hasil respirasi fitoplankton yang berasal dari Karbon yang larut dalam air. Perhitungan untuk Asumsi ini adalah sebagai berikut:


Dari hasil perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa kontibusi lahan basah tersebut dalam memperkaya gas rumah kaca adalah:

CO2 hasil emisi pembakaran + CO2 hasil respirasi fitoplankton

= 2,332 x 105 Mton/juta hektar + 1,034 x 105 Mton/juta hektar

= 3,36 x 105 Mton/juta hektar


· Asumsi 3

Asumsi ini digunakan apabila pada saat mengkonversi lahan gambut menjadi lahan pertanian, yang terbakar adalah semua bagian dari tumbuhan, yaitu tegakan, akar dan tanah. Kemudian sisa dari seluruh bagian tumbuhan yang terbakar ini akan larut dalam air bersamaan dengan 47% Karbon yang dikandungnya.

Seperti halnya pada Asumsi 1 dan Asumsi 2, banyaknya Karbon yang dihasilkan pun akan melalui 2 proses, yaitu dari CO2 hasil emisi pembakaran dan CO2 hasil respirasi fitoplankton yang berasal dari Karbon yang larut dalam air. Perhitungan untuk Asumsi ini adalah sebagai berikut:


Dari hasil perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa kontibusi lahan basah tersebut dalam memperkaya gas rumah kaca adalah:

CO2 hasil emisi pembakaran + CO2 hasil respirasi fitoplankton

= 2,66 x 105 Mton/juta hektar + 1,175 x 105 Mton/juta hektar

= 3,835 x 105 Mton/juta hektar



2. Banyaknya air sungai yang dihasilkan dari Pegunungan Meratus = 500 juta m3/bulan

= 5 x 108 m3/bulan

= 6 x 109 m3/tahun

Presipitasi sepanjang tahun ± 12 x 109 m3/tahun

Total Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) per tahun:

= banyak air di DAS tsb/ tahun + presipitasi/ tahun

= 6 x 109 m3/tahun + 12 x 109 m3/tahun

= 18 x 109 m3/tahun

Jadi, banyaknya air yang kembali terlepas dari peristiwa evavorasi adalah sebesar 2,7 x 109 m3/tahun dan banyaknya air yang kembali terlepas dari peristiwa evavotranspirasi sebesar 0,9 x 109 m3/tahun.


3. Permodelan Matematis